INFID dan SETARA Minta Presiden dan Kemenag Buka Dialog Revisi Rancangan Perpres FKUB

PRESMEDIA.ID, Jakarta- International NGO Forum for Indonesian Development (INFID) dan SETARA Institute,meminta Presiden dan Kementerian Agama, membuka dialog revisi Ranperpres FKUB.
Organisasi nirlaba ini meminta Presiden dan Kementerian Agama, memberikan perhatian terhadap pengaturan pemeliharaan kerukunan umat beragama yang lebih inklusif, sebagaimana amanat Pancasila dan UUD RI 1945 dalam Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang saat ini sedang dibentuk.
Melalui rilis yang diterima media ini, Rizka Antika dari INFID dan Sayyidatul Insiyah dari peneliti Hukum dan Konstitusi SETARA Institute mengatakan, pihaknya sangat setuju dengan revisi pengaturan peran FKUB tersebut dari Peraturan Bersama Menteri (PKB) menjadi Peraturan Presiden (Perpres) dalam menjaga kerukunan umat beragama dan menuju Kerukunan umat Beragama yang Inklusif.
Pengaturan kerukunan Umat beragama/berkepercayaan (KUB) di Indonesia selama ini kata Sayyidatul Insiyah diatur dalam regulasi setingkat Menteri yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat.
PBM ini menurutnya, mengandung berbagai permasalahan, sehingga rencana Pemerintah meningkatkan pengaturan KUB dari PBM menjadi Peraturan Presiden (Perpres) adalah tepat, sebagaimana dikoordinatori oleh Kementerian Agama dalam menyusun Rancangan Peraturan Presiden (Ranperpres) tentang Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama.
“Substansi pengaturan dalam Ranperpres ini sebagai pemajuan. Namun dalam kajian kami draft Ranperpres ini masih memuat berbagai norma yang berpotensi menimbulkan diskriminasi, terutama bagi kelompok minoritas agama dan kepercayaan,” ujar Sayyidatul Insiyah.
Atas hal itu SETARA Institute dan INFID menginisiasi seri diskusi dengan majelis-majelis agama dan kepercayaan serta masyarakat sipil, dengan maksud untuk memfasilitasi ruang dialog dalam membahas Ranperpres PKUB yang tengah disusun oleh pemerintah.
“Sebab dari 36 Pasal yang dimuat dalam Ranperpres PKUB, kami mengusulkan 21 perubahan, baik meliputi perubahan redaksi maupun perubahan substansi yang berimplikasi pada penikmatan hak-hak konstitusional masyarakat, terutama dalam penikmatan atas KBB,” ujarnya.
INFID dan SETARA menyebut, secara garis besar, 21 usulan perubahan tersebut pada pokoknya dapat diringkas ke dalam empat poin utama:
Pertama, Inklusi penghayat kepercayaan dalam pengaturan PKUB
Hal ini berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 97/PUU-XIV/2016 yang telah mengafirmasi kesetaraan antara agama dengan kepercayaan. Namun demikian, diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan masih sering terjadi.
“Oleh karena itu, dalam Ranperpres PKUB ini, mesti menginklusi eksistensi Penghayat Kepercayaan dan hak-hak mereka,” ujarnya.
Ditambahkan Rizka Antika dari INFID, Dalam Raperpres PKUB, baik secara redaksi maupun substansi, pengaturan PKUB masih sangat minim menyebut perihal penghayat kepercayaan. Untuk itu, inklusi Penghayat Kepercayaan harus dilembagakan melalui Ranperpres PKUB.
Kedua, integrasi Tata Kelola Pemerintahan Inklusif sebagai prinsip utama tugas pemerintahan kepala daerah dalam PKUB
Mencermati studi-studi yang dilakukan sebelumnya. SETARA Institute dan INFID memandang, tata kelola pemerintahan daerah yang inklusif merupakan pondasi penting bagi pemajuan toleransi dan kerukunan di daerah-daerah.
Tata kelola pemerintahan inklusif ini, bertolak dari kebutuhan mengakselerasi kinerja pemerintahan daerah dalam mengatasi praktik intoleransi dan pelanggaran KBB dengan mengelola faktor-faktor intoleransi yang terjadi pada lapis negara dan lapis masyarakat sekaligus.
“Usulan pengintegrasian tatakelola pemerintahan inklusif dalam Ranperpres PKUB ini perlu ditambahkan dalam beberapa pasal diantaranya Pasal 1, Pasal 4, dan Pasal 5 yang pada pokoknya memuat tugas dan wewenang pemerintah daerah dalam PKUB,” sebutnya.
Ketiga, Transformasi Pengaturan Pendirian Rumah Ibadah
Data longitudinal SETARA Institute (2007-2022) mengenai pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) menunjukkan, telah terjadi 573 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah, yang mencakup pembubaran dan penolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya.
Secara spesifik, laporan KBB SETARA Institute pada tiap tahunnya, menemukan penolakan pendirian rumah ibadah selalu menjadi salah satu kasus dominan di antara peristiwa pelanggaran KBB. Hal itu dipicu ketentuan-ketentuan diskriminatif soal pendirian rumah ibadah dalam PBM Tahun 2006.
Untuk itu, perlu dirumuskan beberapa perubahan untuk meminimalisasi penolakan terhadap pendirian rumah ibadah. Di antaranya, meliputi penegasan syarat 60 orang yang dapat berasal dari satu agama maupun berbeda agama,
Adanya sanksi bagi kepala daerah yang tidak memberikan keputusan perihal pendirian rumah ibadah dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dan perluasan subjek pemohon rumah ibadah.
Keseluruhan usulan ini dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat dalam menikmati hak beribadah yang telah dijamin oleh Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) konstitusi. Usulan revisi ini perlu ditambahkan dalam beberapa pasal di antaranya pada Pasal 23 ayat (2) huruf b, dan Pasal 24, yang pada pokoknya berkenaan dengan pendirian rumah ibadah.
Keempat Reformasi Kelembagaan FKUB
Salah satu kemajuan mendasar yang dirumuskan dalam Ranperpres PKUB adalah tiadanya kewenangan FKUB untuk memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadah.
Hal tersebut perlu diapresiasi sebagai political will yang baik dari pemerintah untuk mengurangi salah satu faktor terhambatnya pendirian rumah ibadah yang terjadi selama ini, mengingat selama ini rekomendasi FKUB seringkali menjadi pemicu terjadinya penolakan pembangunan rumah ibadah.
Meskipun demikian, Ranperpres PKUB masih memuat norma-norma yang regresif berkenaan dengan FKUB. Oleh karena itu, diperlukan perubahan pada beberapa isu penting tentang keberadaan FKUB.Sejumlah perubahan itu antara lain:
- Norma pembentukan FKUB Nasional harus dihapus, sebab tidak memiliki urgensi fungsional yang nyata. (2)
- Pengaturan syarat anggota FKUB yang masih lemah sehingga perlu ditinjau ulang.
- Pembinaan terhadap anggota FKUB yang masih perlu dikuatkan; dan
- Penambahan wewenang FKUB.
Keseluruhan usulan ini, diajukan demi meningkatkan efektivitas kelembagaan FKUB agar kontributif pada pemajuan KUB. Untuk itu, perlu dilakukan revisi terhadap seluruh Pasal dalam Bab III yang terurai dari Pasal 7 hingga Pasal 21 Ranperpres PKUB, yang pada pokoknya mengatur mengenai FKUB.
Berkenaan dengan usulan perubahan tersebut, Majelis Agama dan Kepercayaan serta Masyarakat sipil mendorong Presiden untuk:
- Memberikan perhatian terhadap pengaturan mengenai pemeliharaan kerukunan umat beragama yang lebih inklusif serta sesuai dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.
- Membuka ruang dialog dan partisipasi bermakna untuk menghimpun masukan dari para pihak, seperti majelis agama dan kepercayaan, kelompok-kelompok minoritas dalam isu kerukunan dan pendirian rumah ibadah, dan masyarakat sipil.
- Menginstruksikan Menteri Agama dan jajaran kementerian/lembaga terkait untuk melakukan revisi terhadap Ranperpres PKUB pada tahun 2023 ini.
Selain itu, INFID dan SETARA Institute juga mendesak Menteri Agama RI untuk mengadopsi usulan-usulan perubahan terhadap Ranperpres PKUB.
Penulis:Presmedia
Editor :Redaksi