
PRESMEDIA.ID– Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, resmi menunda pemberlakuan tarif resiprokal terhadap puluhan negara, termasuk Indonesia. Namun, kebijakan ini tidak berlaku bagi Tiongkok (China), yang tetap dikenakan tarif tinggi sebagai bentuk respons terhadap kebijakan dagang yang dianggap merugikan AS.
Penundaan kenaikan tarif ini akan berlaku selama 90 hari ke depan, memberikan waktu bagi pemerintah AS untuk melakukan negosiasi dagang dengan negara-negara mitra, termasuk Indonesia.
Tarif Baru Mulai Berlaku 5 April, Kecuali untuk China
Mengutip pernyataan resmi dari Gedung Putih pada Rabu (9/4), seperti dilansir BBC, tarif resiprokal yang sebelumnya direncanakan naik drastis kini diturunkan menjadi 10 persen untuk semua negara mitra dagang, kecuali China. Penurunan tarif ini sudah diberlakukan sejak 5 April 2025.
Sebaliknya, tarif terhadap China justru dinaikkan dari 34 persen menjadi 125 persen, sebagai respons atas ketidaksesuaian kebijakan dagang Tiongkok dengan prinsip perdagangan adil menurut pemerintahan Trump.
Ekonom Indonesia: Ini Momentum Perkuat Daya Saing Ekspor
Kebijakan ini disambut baik oleh pelaku usaha dan ekonom di Indonesia. Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Indonesia, Fakhrul Fulvian, menyebut langkah tersebut sebagai “nafas lega” bagi Indonesia untuk memperkuat posisi dalam peta perdagangan global.
“Ini momentum penting untuk konsolidasi kebijakan dagang, khususnya dengan Amerika Serikat,” jelas Fakhrul dalam keterangannya yang dikutip dari InfoPublik, Kamis (10/4/2025).
Menurut Fakhrul, perang dagang global membuka peluang untuk reshoring atau relokasi pabrik dari negara-negara seperti Vietnam, Bangladesh, China, dan Thailand ke Indonesia. Sektor ekspor unggulan seperti tekstil, sepatu, garmen, dan furniture dipandang sebagai sektor strategis untuk dimaksimalkan.
Agar bisa memanfaatkan peluang ini secara maksimal, Fakhrul menekankan pentingnya reformasi regulasi, terutama dalam hal izin usaha dan kemudahan ekspor.
“Kebijakan yang mendukung pelaku usaha sangat krusial dalam situasi global yang tak menentu,” tegasnya.
Ia juga menilai bahwa perubahan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sangat penting untuk menarik investasi dari AS. Banyak investor asal Amerika tertarik masuk ke Indonesia, namun terhambat karena aturan TKDN yang dianggap terlalu membatasi.
Peluang dalam Neraca Dagang dan Strategi Domestik
Dari sisi neraca dagang, Indonesia memiliki peluang untuk meningkatkan impor strategis dari sektor perminyakan, bahan kimia, hingga pangan dari AS. Hal ini bisa menjadi nilai tambah dalam perundingan dagang bilateral ke depan.
Namun, Fakhrul juga mengingatkan akan potensi perlambatan ekonomi global yang bisa berdampak pada Indonesia di tahun 2025.
“Volatilitas ekonomi global adalah hal yang tidak bisa dihindari. Karena itu, memperkuat sirkulasi ekonomi domestik menjadi kunci menjaga pertumbuhan nasional,” pungkasnya.
Penulis:Presmedia
Editor :Redaksi