
PRESMEDIA.ID, Tanjungpinang – Sebanyak 68 Organisasi Global yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius), menolak pengundangan revisi kedua UU ITE oleh DPR RI.
Sebagaimana diketahui, pada Kamis, 4 Januari 2024 lalu, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Atas penandatanganan ini, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) mengungkapkan, revisi UU ITE ini masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.
Pasal-pasal bermasalah itu, akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE juga mengatakan, UU ITE di Indonesia ini adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
“Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM), Jurnalis, Perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya,” sebutnya melalui rilis yang diterima media ini Kamis (4/1/2023).
Koalisi Masyarakat Sipil, sejak awal menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik.
Kurangnya transparansi ini menimbulkan resiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.
“Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah dan pasal-pasal lama,” sebutnya.
Adapun sejumlah pasal bermasalah itu menurut Koalisi Masyarakat Sipil adalah, pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil. Kemudian pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik, sehingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B.
“DPR bersama pemerintah juga menambahkan ketentuan baru, salah satunya pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang, dan ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya, adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran,” jelasnya.
Pada pasal 27 B ayat (1) berbunyi, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan ancaman kekerasan untuk a.Memberikan suatu barang, yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain, b. Memberi hutang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Pasal 2B ayat (2) berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya a.Memberikan suatu barang yang sebagian atau seluruhnya milik orang tersebut atau milik orang lain, b.Memberi hutang, membuat pengakuan utang atau menghapuskan piutang.
Selain itu, ada juga pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong dalam pasal ini,
Pasal 28 ayat 3 berbunyi setiap orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.
Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum.
Sebanyak 68 organisasi global ini, juga menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini menimbulkan resiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan hak asasi manusia.
Dan melihat berbagai masalah tersebut, yang masih eksis pada revisi kedua UU ITE ini, Koalisi Serius Revisi UU ITE menyatakan, menolak dengan tegas pengundangan Revisi Kedua UU ITE oleh DPR RI karena telah mengabaikan partisipasi publik serta terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya.
Mendesak Pemerintah untuk memastikan implementasi UU No.1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya.
Mendesak pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan.
Koalisi Serius Revisi UU ITE sendiri terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) , Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS),
Kemudian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist), Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE).
Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) serta Yayasan Perlindungan Insani (Protection International).
Penulis: Presmedia/Rilis
Editor : Redaksi