
PRESMEDIA.ID– Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2024 Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) akhirnya terungkap. Temuan BPK pada LKPD-APBD 2024 menyebut, Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kepri menyusun anggaran pendapatan tanpa dasar yang memadai, hingga menimbulkan selisih besar terhadap biaya belanja dan membebani APBD 2025 sebesar Rp454 miliar.
Dalam temuanya, BPK menyatakan, permasalahan defisit APBD Kepri 2024, muncul karena adanya mark-up pendapatan daerah yang ternyata tidak realistis.
Salah satunya adalah sektor Dana Bagi Hasil (DBH) transfer pusat, Pendapatan HPKDD (Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan) dan Pendapatan lain-lain PAD yang sah.
BPK menyatakan dalam rancangan APBD 2024 Kepri, BKAD Kepri semula menganggarkan penerimaan DBH sebagai pendapatan daerah Rp583,59 miliar. Namun, realisasi hanya mencapai Rp318,18 miliar, akibatnya terdapat deviasi (kekurangan) sebesar Rp265,41 miliar.
Bahkan, dalam APBD Perubahan (APBD-P) 2024, target pendapatan DBH ini juga dinaikan Rp769,02 miliar atau jauh lebih tinggi dari alokasi yang tercantum dalam Perpres No. 76 Tahun 2023 yang hanya sebesar Rp286,27 miliar.
Selanjutnya, melalui evaluasi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), memberikan catatan dan rekomendasi, agar Pemprov Kepri menyesuaikan target penerimaan daerah sesuai dengan mekanisme aturan.
Namun, Pemprov Kepri bersama DPRD dan BKAD tetap mempertahankan angka tidak realistis perolehan DBH dari pusat di APBD dan APBD-P Keprri 2024 tersebut.
Tragisnya, setelah APBD 2024 disahkan, Kementerian Keuangan menerbitkan PMK No. 89/2024, yang menetapkan realisasi kurang bayar DBH Kepri hanya sebesar Rp69,71 miliar, dengan lebih bayar Rp68,96 miliar. Artinya, neto kurang bayar hanya Rp748,06 juta, jauh dari asumsi Rp267,44 miliar yang dipakai Pemprov Kepri.
Target HPKDD Rp34 Miliar Tak Masuk Akal
Selain masalah DBH, Pemprov Kepri juga menargetkan pendapatan dari sektor HPKDD senilai Rp34 miliar pada 2024. Sumbernya yag diploting berasal dari perolehan dividen penyertaan modal pada, Bank Syariah Riau Kepri,
PT Pembangunan Kepri dan PDAM Tirta Kepri.
Namun, realisasi yang masuk ke kas daerah hanya Rp1,9 miliar atau 5,6 persen dari target.
Anehnya, dua BUMD yang disebut sebagai sumber pendapata HPKDD, PT.Pembangunan Kepri dan PDAM Tirta Kepri, justeru tidak masuk akal akan menyetorkan deviden, sebab laporan kuanganya dalam 3 tahun terakhir selalu merugi. Satu-satunya sumber dividen hanya berasal dari Bank BRK Syariah dengan nilai Rp1,9 miliar pada 2023.
Atas kondisi ini, BPK menyatakan target Rp34 miliar tidak memiliki dasar hukum maupun kertas kerja yang memadai. Penetapan target dianggap spekulatif dan tidak logis.
Kesalahan dalam menyusun target pendapatan membuat APBD 2024 Kepri defisit, sehingga beban sebesar Rp454 miliar harus ditutup di APBD 2025.
Untuk diketahui, Pendapatan APBD dan APBD-P 2024 Kepri dianggarkan masing-masing Rp4,21 Triliun lebih dan Rp4,27 Triliun lebih.
Namun, Anggaran Pendapatan Daerah yang terealisasi adalah Rp3,95 triliun. Realisasi pendapatan Daerah pad APBD 2024 ini, tidak mencapai target dengan deviasi (Kekurangan) Rp316,741 miliar.
Kepala BKAD: Hutang APBD 2024 Rp454 M Sudah Dibayar
Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Kepri, Venni Meitaria Detiawati membenarkan temuan utang APBD 2024 Rp454 miliar lebih ini.
Namun saat ini katanya, utang tersebut telah dibayarakan pemerintah provinsi Kepri kepada pihak ke tiga.
“Yang sudah dilakukan BKAD adalah membayarkan hutang tersebut,” ujarnya Venni singkat saat dikonfirmasi media ini.
Namun demikian, Kepala BKAD Kepri ini enggan menjabarkan, besaran jumlah utang masing-masing dinas OPD di Provinsi Kepri, atas warisan utang APBD 2024 itu. Demikian juga dengan pengaruh dan dampak rasionalisasi yang diakibatkan pada APBD serta APBD-P Kepri 2025.
Sebelumnya, DPRD Kepri telah megesahkan APBD Perobahan 2025 Provinsi Kepri Rp3,911 triliun dengan besaran belanja daerah Rp3,933 triliun.
Perolehan Pendapatan daerah Rp3,911 triliun ini, turun sekitar Rp7,3 miliar dibandingkan APBD Murni. Sementara, belanja daerah diproyeksi meningkat sebesar Rp14,7 miliar dari sebelumnya Rp3,918 triliun.
Adapun pembiayaan netto diproyeksikan sebesar Rp22,2 miliar, yang merupakan penyesuaian dari penerimaan SiLPA 2024 berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Adapun rincian alokasi belanja meliputi, sektor Pendidikan Rp1,11 triliun atau 28,23 persen dari total belanja atau melebihi batas minimal 20 persen, Infrastruktur pelayanan publik: Rp1,07 triliun (33,28 persen), Belanja pegawai Rp1,32 triliun (33,74%, sedikit di atas ambang batas 30 persen).
Penulis:Presmedia
Editor :Redaksi