Ratusan Warga Bintan Minta Kepastian Hukum ke Presiden Jokowi Terkait Lahan Bersertifikat yang Diklaim Hutan Lindung

Jerri Warga Masyarakat Sungai Kecil Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan. (Foto: Presmedia.id)
Jerri Warga Masyarakat Sungai Kecil Kecamatan Teluk Sebong Kabupaten Bintan. (Foto: Presmedia.id)

PRESMEDIA.ID, Tanjungpinang – Ratusan warga desa Sungai Kecil dan Sebong Lagoi Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, memohon perlindungan dan kepastian hukum kepada Presiden Joko Widodo terkait sertifikat lahan yang mereka miliki, namun diklaim berada di kawasan hijau (Hutan Lindung).

Warga mengatakan, meskipun lahan rumah yang mereka tempati sudah bersertifikat dari Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun kini lahan tersebut diklaim sebagai hutan lindung oleh Kementerian Kehutanan.

Jeri, salah satu warga Desa Sungai Kecil di Kecamatan Teluk Sebong, menyatakan, ratusan lahan rumah warga di desanya sudah memiliki sertifikat dari BPN, saat ini dipatok dan dipasang Plang sebagai kawasan hijau (hutan lindung).

Jeri menyebut, Ia bersama warga di Desa Sungai Kecil dan Sebong Lagoi itu, telah tinggal dan mengelola lahan perumahan mereka selama puluhan tahun dan mengurus sertifikat serta balik nama sejak 2000 lalu.

Namun, pada tahun 2021 sebutnya, warga mulai resah dan terganggu dengan pemetaan dan patokan yang dilakukan oleh pemerintah bahwa seluruh lahan perumahan warga di kawasan tersebut masuk dalam kawasan hijau dan hutan lindung.

“Kami sangat sedih dengan penetapan lahan perumahan kami sebagai kawasan hijau (hutan lindung),” ujarnya pada media ini, Senin (15/7/2024).

Jeri juga mempertanyakan, mengapa BPN Bintan mengeluarkan sertifikat hak kepemilikan lahan warga, jika memang lahan tersebut adalah kawasan hijau dan hutan lindung sejak awal.

“BPN adalah lembaga negara yang memiliki tapal batas dan titik lokasi kawasan yang bisa dan tidak bisa dikeluarkan sertifikat. Apakah kami masyarakat sengaja dibodohi BPN untuk memperoleh keuntungan dari permohonan sertifikat yang kami ajukan?” ujarnya bertanya.

Atas hal itu, Jeri dan warga lainnya meminta, agar Presiden memberi kepastian hukum pada terkait sertifikat yang dimilikai warga.

“Kami meminta kepada Bapak Presiden bagaimana kepastian hukum atas sertifikat berlambang GARUDA yang kami miliki ini,” ujarnya.

Ia juga mengingat pesan Presiden Joko Widodo, yang menyebut, “Sertifikat yang dimiliki warga dapat dijadikan agunan untuk menambah modal usaha kecil”. Namun, kini mereka merasa tidak nyaman bahkan untuk tinggal di rumah mereka sendiri.

Dalam kondisi ini, warga berharap Presiden dan Menteri ATR/BPN dapat menindaklanjuti dan memberikan solusi serta kepastian hukum atas lahan yang mereka tempati.

“Kami rakyat kecil perlu kepastian dan keadilan. Kami juga membayar pajak tanah (PBB) setiap tahun yang ditagih pemerintah,” pungkasnya.

Himperra: Sejumlah Pengembang Hentikan Pembangunan Perumahan

Di tempat terpisah, Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Kepulauan Riau (Kepri) juga menyatakan, selain masyarakat sejumlah pengusaha pengembang perumahan di Kabupaten Bintan juga berdampak dengan kebijakan perubahan status kawasan yang sebelumnya produktif dan pemukiman menjadi kawasan hijau atau hutan lindung.

Ketua DPD Himperra Kepri, Urip Widodo, mengatakan, kebijakan perubahan status kawasan di Bintan ini, menambah panjang permasalahan masyarakat dan pengusaha pengembang dalam menjalankan investasinya.

Perubahan status kawasan ini lanjutnya, terjadi di Desa Sungai Kecil dan desa Sebong Lagoi Kecamatan Teluk Sebong, termasuk Perumahan Griya Lagoi Asri di Sungai Kecil.

Anehnya, ratusan warga di kawasan ini sudah memiliki sertifikat hak kepemilikan lahan, Pengusaha properti juga sudah memiliki izin operasi, IMB serta membayar pajak PBB dan retribusi kepada pemerintah.

“Namun tiba-tiba terjadi perubahan status yang tadinya dinyatakan lahan produktif dan pemukiman, menjadi kawasan hijau. Bagaimana warga dan pengusaha tidak bingung? Seluruh kegiatan terhenti, sertifikat berlambang Garuda yang dikeluarkan BPN tidak ada fungsi,” ujarnya.

Ketidakpastian hukum ini sebutnya, juga sangat merugikan pengembang dan ratusan warga Bintan yang sudah menguasai lahan dan membuat rumah bertahun-tahun hingga generasi kedua.

“Namun ketika ingin mengagunkan sertifikat rumah mereka sebagai agunan untuk penambahan modal usaha, saat ini ditolak oleh bank karena perubahan status lokasi,” jelasnya.

Atas kondisi itu, Urip meminta kepada pemangku kepentingan untuk memberikan atensi, solusi, dan jalan keluar bagi warga dan pengembang di Bintan.

Penulis: Presmedia
Editor  : Redaksi