PRESMEDIA.ID – Pandemi Covid-19 telah mengubah hampir semua pola kehidupan. Termasuk pola pendidikan. Berawal dari proses pembelajaran yang dilakukan secara tatap muka, kini berubah menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Hal ini didasari oleh Surat Edaran Kemendikbud Dikti Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran Covid-19 di Perguruan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dampak dari perubahan ini, pun terlihat kontras dan signifikan. Sejak setahun dunia pendidikan merasakan imbas dampak Covid 19.
Kondisi ini, kontan membuat kalangan orang tua/wali siswa resah dengan anak-anaknya harus melulu belajar dari rumah. Mulai dari tingkat satuan SD sampai ke Perguruan Tinggi merasakan perubahan pola kegiatan belajar mengajar menjadi pembelajar mandiri.
Pertanyaan yang muncul saat ini, apakah hal ini efektif jika diberlakukan secara terus menerus? Sejumlah pengamat dan praktisi pendidikan menilai metode pembelajaran daring ini kurang efektif. Pasalnya, banyak ditemukan kendala dan permasalahan yang sering dihadapi oleh tenaga pendidik secara empirik di lapangan.
Misalnya, tidak terjangkaunya sinyal, tidak ada kuota paket dan handphone atau seluler siswa atau peserta didik yang sering rusak. Hal ini juga sangat tidak efektif dalam penyampaian materi pembelajaran terhadap siswa. Kecuali, pembelajaran mandiri ini (Pembelajaran Jarak Jauh) hanya diterapkan kepada mahasiswa atau yang kategori orang dewasa tidak terlalu rumit masalahnya.
Contoh kasus pembelajaran daring untuk tingkat satuan SD. Mereka sangat kesulitan dalam penyerapan materi pembelajaran yang disampaikan oleh guru, karena metode pembelajaran tingkat SD yaitu lebih cenderung ke Pedagogik. Sehingga, jika diterapkan untuk pembelajaran daring yang terjadi perubahan adalah yang akan belajar orang tua dan bukan peserta didik itu sendiri.
Oleh sebab itu, pembelajaran daring menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan dengan situasi Indonesia yang memiliki ribuan pulau. Bagaimana teknologi dapat digunakan, bagaimana penyediaan akses internet pada daerah-daerah terpencil dimana barang elektronik tanpa akses internet pun masih menjadi suatu kemewahan.
Ini merupakan tantangan bagi semua pihak pada masa Pandemic Covid ini. Contoh kasus selanjutnya, dampak Covid-19 terhadap pendidikan sangat luas, mulai dari siswa yang ketinggalan pelajaran, angka putus sekolah hingga meningkatnya tingkat stress pada anak-anak.
Dengan demikian, berpotensi meningkatkan angka putus sekolah (APS) anak. Data dari KPAI sejak Januari hingga Februari 2021 ada 34 kasus APS. Penyebabnya beragam, ada yang menikah di usia dini, menunggak SPP, bekerja, hingga kecanduan game online.
Dari paparan kasus-kasus yang dijelaskan perlu adanya solusi kembali dari pihak-pihak terkait. Yakni, jajaran pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota yang memiliki peran penting dalam memecahkan solusi ini.
Perlu ditekankan, peran dan fungsi guru tidak akan bisa menggantikan peran teknologi yang secanggih apapun itu juga. Edukasi bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan tetapi juga tentang nilai, kerja sama, serta kompetensi.
Meskipun saat ini teknologi memegang peranan yang penting dalam dunia pendidikan, peran guru, dosen, dan pendidik tetap tidak dapat tergantikan. Pengetahuan bisa didapat atau cari dari google tapi peran ganda guru dalam membina karakter murid tidak bisa digantikan oleh teknologi apapun juga.
Ungkapan ”guru, digugu lan ditiru.” Ungkapan tersebut menggambarkan betapa besarnya peranan seorang guru yang dijadikan sebagai sosok panutan oleh peserta didiknya.
Dalam dunia pendidikan itu tidak melulu soal pengetahuan, tetapi pembentukan karakter anak juga tidak kalah penting. Untuk membentuk karakter anak bangsa yang berkualitas, seorang guru sebagai pusat teladan harus memberikan contoh yang baik.
Hal ini mengindikasikan seorang guru perlu merangkap peran ganda ketika mengedukasi anak didiknya. Oleh sebab itu, tawaran yang akan saya sampaikan, dalam menghadapi ajaran baru ini, mohon kiranya dilakukan pembelajaran tatap muka dengan dasar yang dilakukan yaitu atas persetujuan orang tua/wali murid.
Selanjutnya di tiap sekolah harus menyiapkan protocol kesehatan yang sangat ketat, dan melakukan pengurangan manajemen waktu pembelajaran dengan sekian jam. Mudah-mudahan dengan ikhtiar yang akan dilakukan pendidikan yang ada di daerah kita tidak akan sunyi sepi atau mati suri dan generasi kita juga akan terselamatkan dari kasus-kasus yang tidak kita inginkan.
Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Riau Kepulauan, Alumni HMI Cabang Yogyakarta.
Komentar