
PRESMEDIA.ID, Tanjungpinang – Kepala Kantor Bea dan Cukai Tanjungpinang mengakui kasus cukai dan Pabean dari aksi penyelundupan barang illegal di Tanjungpinang dan Bintan jarang diproses ke Pengadilan
Kepala Kantor Bea dan Cukai Tri Hartana, mengatakan minimnya kasus cukai dan dan pabean itu dilimpah ke Pengadilan, karena diselesaikan dengan ketentuan ultimum remedium.
Pengertian ultimum remedium dalam hukum pidana, merupakan penerapan sanksi pidana menjadi sanksi pamungkas (terakhir) dalam penegakan hukum.
Dengan demikian hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir penegakan hukum. Asas ultimum remedium bermakna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain (kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, atau hukum administrasi) hendaklah jalur lain tersebut terlebih dahulu dilakukan.
“Jadi, tidak semua pelaku-pelaku penyelundup barang Ilegal itu dari penyidikan yang dilakukan BC, diproses hukum hingga ke pengadilan karena hal itu merupakan upaya terakhir Ultimum remedium,” ujarnya ketika ditanya Media saat memusnahkan Barang Menjadi Milik Negara (BMMN) hasil tegahan 2021-2023 BC Tanjungpinang di TPA Ganet Kota Tanjungpinang, Selasa (20/6/2023)
Penyelesaian lanjutnya, dilakukan dengan membayar denda sebagaimana menggunakan yang diamanatkan UU Cukai dan Pabean disektor fiskal.
Ia mengatakan, pemusnahan sejumlah BMMN yang dilakukan juga merupakan implementasi dari fungsi pengawasan dan perlindungan masyarakat yang dilakukan Bea Cukai Tanjungpinang atas lalu lintas kepabeanan dan cukai tahun 2021 sampai 2023.
Dalam penerapan asas ultimum remedium, penyidik BC yang melakukan penindakan kepada para pelaku penyelundup dan membawa barang illegal dan dilarang, jika bersedia membayar denda ketentuan Cukai maka Bea dan Cukai lebih mengedepankan penyelesaian dendanya, dari pada menghukum pemilik barang tersebut dengan pidana penjara.
Dan terkait dengan sejumlah barang BMMN yang dimusnahkan, dikatakan Tri Haryana ada sebagian yang diketahui pemiliknya, kemudian menyelesaikan sanksi denda cukai dan kepabeanan.
Namun demikian, barang yang dibawa tetap disita, karena merupakan barang ilegal, dan tidak bisa dikonsumsi, karena tidak memiliki izin dari instansi terkait dalam pemasukan barang dari luar ke kawasan wilayah Indonesia.
“Jadi barangnya tetap kita sita dan setelah ada penetapan dari Menteri keuangan dimusnahkan, Kemudian pelaku (Pemasok) barang itu juga kita kenakan membayar denda hal ini yang dimaksud dengan penerapan ultimum remedium, atau pemidanaan merupakan jalan terakhir,” ujarnya.
Dengan wilayah Kepri yang luas dan SDM yang terbata, Lanjut Tri, pihaknya terus melakukan berupaya pengawasan dalam menekan masuknya barang ilegal dan tidak prosedural ke wilayah Tanjungpinang dan Bintan.
Hal itu berupa barang selundupan dari luar negeri, rokok ilegal yang keluar dari wilayah FTZ ke Bintan dan Tanjungpinang, sehingga produksi barang pelaku bisnis yang legal dapat berkembang dan menjalankan persaingan secara sehat.
Dari persentase penegahan barang yang dilakukan BC, Tri juga mengakui antara barang dengan larangan terbatas (Lartas) hampir berimbang dan sama banyaknya dengan barang yang diizinkan masuk, Namun tidak sesuai prosedur.
Hal ini disebabkan, pelaku atau perusahaan pemasok barang tersebut tidak mau mengurus izin dari instansi terkait sebelum memasukan barang dari luar ke wilayah Pabean.
Penulis: Presmedia
Editor :Redaksi