Pertanyakan SKT Pemohon, KPK Sebut MAKI Tidak Berhak Ajukan Praperadilan

Sidang lanjutan Praperadilan Penyidikan Kasus Korupsi Mangkrak di Kajati Kepri yang diajukan MAKI ke PN Tanjungpinang
Sidang lanjutan Praperadilan, Penyidikan Korupsi Mangkrak di Kajati Kepri yang diajukan MAKI ke PN Tanjungpinang.(Presmed)

PRESMEDIA.ID,Tanjungpinang- Pemasalahkan Surat Keterangan Terdafatar (SKT) lembaga Sosial Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) yang telah berakhir pada 9 November 2017 lalu. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, MAKI tidak memiliki legal standing atau hak hukum untuk mengajukan permohonan praperadilan atas Kasus mangkrak dan mengendap, Korupsi tunjangan perumahann DPRD Natuna di Kejaksaan Tinggi Kepri.

Hal itu dikatakan kuasa termohon II KPK, staf hukum KPK Firman dalam jawabanya atas permohonan Praperadilan MAKI terkait mangkrak dan mengendapnya penyidikan korupsi tunjangan perumahan DPRD Natuna di Kejati Kepri, dalam sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Tanjungpinang,Senin(7/10/2019).

Dalam jawabannya, Firman mengatakan, esepsi tentang kedudukan hukum pemohon atau legal standing permohonan yang di ajukan oleh pemohon adalah keliru dan tidak benar hingga tidak beralasan hukum melakukan permohona gugtan Praperadilan.

Selain itu, Lanjut KPK, pihak yang dapat mengajukan praperadilan telah di tentukan oleh KUHP yang salah satunya adalah pihak ketiga yang berkepentingan, Namun demikian KUHP secara tegas membatasi lingkup praperadilan yang dapat mengajukan permohonan oleh pihak ketiga yang berkepentingan, yaitu sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan, ganti kerugian atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan dan penahanan serta penetapan tersangka.

“Syarat limitatif legal standing yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut telah ditentukan oleh pasal 80 jo 81 KUHP,”kata Firman.

Firman melanjutkan bahwa sebagaimana telah di akui oleh pemohon bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) dari putusan MK nomor 98 telah menentukan perluasan makna pihak ketiga yang berkepentingan untuk mengajukan permohonan praperadilan hanya terbatas pada objek yang di atur oleh pasal 80 KUHP.

Dalam permohonan praperadilan ini, pemohon telah mengajukan permohonan diluar lingkup yang di ajukan oleh pihak ketiga yaitu terkait dengan pelimpahan berkas perakara aquo kepada Kejati Kepri dan pengambil alihan penanganan kasus kepada KPK serta BPK Kepri dan BPKP Kepri ikut membantu Kejati dan KPK dalam penundaan penuntasan penyidikan perkara aquo.

“Merujuk pada objek praperadilan tersebut, maka jelas bahwa pemohon tidak memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan praperadilan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, karena lingkup tersebut bukan lingkup sebagai mana yang telah di maksud oleh pasal 80 KUHP. Sehingga tidak memenuhi ketentuan syarat liminitatif yang tidak berkepentingan,”paparnya.

Lebih lanjut, Firman menjelaskan permohonan yang di ajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan terhadap kedudukan hukum pemohon sebagai suatu perkumpulan, Maka KPK mengambil kesimpulan sebagai berikut, bahwa organisasi masyarakat diatur oleh undang-undang ormas dan peraturan pemerintah nomor 58 tahun 2016 tentang pelaksana undang-undang nomor 17 tahun 2013.

“Bahwa SKT MAKI terdaftar nomor:01/9 November 2012 yang ditandatangani Dirjen Kesbangpol maka diketahui jangka waktu SK berakhir 9 November 2017. Sehingga saat pemohon mengajukan permohonan praperadilan secara jelas nyata sudah tidak berlaku sehingga pemohon tidak memiliki legal standing,”tegasnya.

Hal ini lanjut dia, sesuai dengan pendapatan Hakim praperadilan pada PN Jakarta Selatan pada putusan nomor 91 tanggal 24 September 2019. Dengan demikian permohonan yang diajukan oleh pemohon adalah tanpa alasan berdasarkan undang-undang.

Karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan legal standing untuk mengajukan permohonan praperadilan sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, maka KPK Meminta majelis hakim agar sepatutnya permohonan praperadilan pemohon ditolak dan setidaknya tidak dapat diterima.

Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa KPK telah membiarkan Kejati Kepri melakukan penghentian penyidikan secara materil atas perkara aquo serta, meminta majelis hakim memerintah KPK untuk mengambil ahli penyidikan dari Kajati, bukanlah lingkup kewenangan lembaga praperadilan yang secara limitatif telah ditentukan dalam KUHP serta putusan MK nomor:21 dan peraturan MA nomor 4 tahun 2016.

Dengan kata lain lembaga praperadilan tidak memiliki kewenangan memeriksa dan memutuskan berkaitan dengan pelaksanaan tugas KPK untuk pengambilan alihan suatu perkara tindak pidana perkara korupsi,”ungkapnya.

“Dalil permohonan pemohon adalah keliru dan tidak benar dan tidak beralasan dan serta tidak berdasarkan hukum, terhadap dalil tersebut KPK mengajukan jawaban, bahwa pemohon secara tegas dan telah mengakui bahwa perkara aquo, penyidikannya dilakukan oleh Kejati Kepri telah selesai sebagaimana dalam dalil pemohon,”ujarnya.

Dengan demikian terhadap alasan permohonan yang mendalilkan ada-nya penghentian secara materil atas perkara aquo adalah tidak tepat dan salah pihak. Karena proses penanganan perkara aquo ditangani oleh termohon I tidak ditangani termohon II.

Selain tidak pernah ditangani, Dan bahkan sampai saat ini termohon II (KPK) tidak pernah menangani perkara aquo. Dan termohon II tidak memiliki kewenangan menghentikan penyidikan sebagaimana dalam pasal 40 undang-undang KPK. “Oleh sebab itu pemohonan praperadilan, pengajuan permohonanya hanya dapat diajukan kepada penyidik yang menangani perkara aquo yaitu instansi penyidik Kejaksaan tinggi Kepri,”jelasnya.

Sedangkan, jawaban Termohon Praperadilan I kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi Kepri, dan Turut Termohon I dan II, BPK dan BPKP Kepri, diserahkan kepada Hakim Tunggal Praperadilan GUntur Kurniawan SG tanpa dibacakan masing-masing termohon. Sidang akan kembali digelar, Besok dan Luas, Selasa-Rabu,(7-8/10/2019) mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi dan bukti pada permohonan praperadilan tersebut.(Presmed6)